Salah satu faktor pemicu pertumbuhan penggunaan kartu kredit atau pertumbuhan produk kartu kredit sedemikian rupa adalah "pangsa pasar" kartu kredit itu sendiri. Semakin maju sebuah negara atau kota, semakin bermanfaat penggunaan kartu kredit. Semakin terdidik atau melek teknologi masyarakat sebuah negara atau kota maka semakin mudah produk kartu kredit diterima. Apalagi jika negara tersebut memiliki populasi penduduk dalam jumlah besar seperti Indonesia.
Indonesia yang menempati urutan ke-5 dari populasi negara terpadat di dunia, tentu saja menjadi pangsa pasar yang sangat menggiurkan untuk bisnis apapun termasuk bisnis kartu kredit. Dengan total katakanlah 250 juta penduduk di tahun 2012 dan andaikan bank beserta afiliasinya bisa menjangkau 10%-nya saja, itu sudah merupakan lahan bisnis yang begitu luar biasa. Ada kurang lebih 25 juta pengguna kartu kredit yang dimungkinkan. Untuk mendapatkan gambaran kasar hitung-hitungannya seperti apa yang akan terjadi, silakan menyimak ulasan di bawah ini.
Indonesia yang menempati urutan ke-5 dari populasi negara terpadat di dunia, tentu saja menjadi pangsa pasar yang sangat menggiurkan untuk bisnis apapun termasuk bisnis kartu kredit. Dengan total katakanlah 250 juta penduduk di tahun 2012 dan andaikan bank beserta afiliasinya bisa menjangkau 10%-nya saja, itu sudah merupakan lahan bisnis yang begitu luar biasa. Ada kurang lebih 25 juta pengguna kartu kredit yang dimungkinkan. Untuk mendapatkan gambaran kasar hitung-hitungannya seperti apa yang akan terjadi, silakan menyimak ulasan di bawah ini.
Pangsa pasar kartu kredit di Indonesia sangatlah menggiurkan dan bisa dikalkulasi dengan hitungan yang sangat sederhana. |
Ada satu hal yang harus kita jawab bersama: mengapa bank-bank yang ada begitu gencar memasarkan kartu kreditnya atau ikut beramai-ramai terjun ke bisnis kartu kredit? Semua ini bukan semata-mata karena tuntutan tren, gaya hidup, ikut-ikutan bisnis, perkembangan teknologi atau manfaat kartu kredit itu sendiri bagi masyarakat, melainkan memang ada hitung-hitungan potensi keuntungan yang bisa dikeruk sedemikian rupa. Coba disimak penjelasan lebih lanjut di bawah ini.
Tahun 1990 jumlah kartu kredit yang beredar di Indonesia tercatat ada sekitar 300.000 lembar. Tujuh tahun kemudian (1997), menurut catatan AKKI (Asosiasi Kartu Kredit Indonesia) jumlahnya naik mencapai 1,8 juta lembar dengan perincian:
- Visa kurang lebih 1.000.000 lembar.
- MasterCard kurang lebih 700.000 lembar.
- Sisanya AMEX, JCB, Diners Club, dsb.
Volume transaksi juga meningkat tajam dari Rp 790 miliar di tahun 1990 menjadi Rp 7,6 triliun pada tahun 1996. Tahun 2001 pemegang kartu kredit membengkak menjadi 3,4 juta nasabah dengan total transaksi mencapai 50 juta transaksi. Setelah itu melonjak melebihi 117 juta transaksi atau 216 transaksi kartu kredit setiap hari. Maksud atau pengertian transaksi ini adalah dipergunakan untuk berbelanja membayar ini dan itu dengan kartu kredit.
AKKI mengemukakan terjadinya peningkatan jumlah kartu kredit yang beredar menjadi 8,7 juta lembar kartu per september 2007 dengan total nilai kredit (derivatif) sebesar Rp 25,2 triliun. Di tahun 2010 menurut data Bank Indonesia, jumlah transaksi kartu kredit sudah melebihi Rp 163,2 triliun dengan kata lain naik 2,5 kali lipat dari tahun 2007 yang hanya mencapai Rp 72,6 triliun. Wow! Uniknya lagi, tren ini lebih didorong oleh bank-bank nasional terutama bank-bank berplat merah (BUMN). Sebab memang beberapa bank pemerintah ikut masuk ke bisnis kartu kredit. Bisa kita bayangkan? Dengan transaksi seperti itu, berapa keuntungan yang bakal diraih bank dan berapa kaya bankir-bankir atau pejabat perbankan di Indonesia? Silakan dihitung sendiri nanti.
AKKI mengemukakan terjadinya peningkatan jumlah kartu kredit yang beredar menjadi 8,7 juta lembar kartu per september 2007 dengan total nilai kredit (derivatif) sebesar Rp 25,2 triliun. Di tahun 2010 menurut data Bank Indonesia, jumlah transaksi kartu kredit sudah melebihi Rp 163,2 triliun dengan kata lain naik 2,5 kali lipat dari tahun 2007 yang hanya mencapai Rp 72,6 triliun. Wow! Uniknya lagi, tren ini lebih didorong oleh bank-bank nasional terutama bank-bank berplat merah (BUMN). Sebab memang beberapa bank pemerintah ikut masuk ke bisnis kartu kredit. Bisa kita bayangkan? Dengan transaksi seperti itu, berapa keuntungan yang bakal diraih bank dan berapa kaya bankir-bankir atau pejabat perbankan di Indonesia? Silakan dihitung sendiri nanti.
Pasar Potensial Kartu Kredit Indonesia
Merujuk pada istilah pemasaran, pasar berarti jumlah keseluruhan penduduk yang ada di suatu tempat atau wilayah secara geografis. Sedangkan pengertian "pasar potensial" adalah jumlah dari keseluruhan penduduk yang ada (pasar) yang dimungkinkan untuk memiliki kartu kredit. Secara konsep, pasar potensial adalah mereka-mereka yang bisa atau boleh memiliki kartu kredit. Seperti penjelasan di awal jika jumlah penduduk Indonesia adalah 250 juta orang dan pangsa pasar potensialnya katakanlah 10% maka ada kurang lebih 25 juta orang yang dimungkinkan memiliki atau menggunakan kartu kredit.
Meski saat ini (2014) jumlah kartu kredit yang beredar di masyarakat mungkin sudah tembus 15 juta lembar, namun itu belum menjadi jaminan pasar potensialnya sudah sedemikian rupa atau sudah tercapai. Sebab setiap nasabah bisa saja memiliki lebih dari 3 lembar kartu kredit dari berbagai bank. Tak jarang mungkin ada yang punya 7 lembar bahkan 9 lembar apalagi setelah diajari dan ikut seminar orang yang konon katanya pakar kartu kredit tentang jurus memutar uang "gali lubang tutup lubang" akhirnya menuju "gali lubang tutup lubang akhirnya menjadi kolam renang dan ikut tenggelam dan terbenam".
Meski saat ini (2014) jumlah kartu kredit yang beredar di masyarakat mungkin sudah tembus 15 juta lembar, namun itu belum menjadi jaminan pasar potensialnya sudah sedemikian rupa atau sudah tercapai. Sebab setiap nasabah bisa saja memiliki lebih dari 3 lembar kartu kredit dari berbagai bank. Tak jarang mungkin ada yang punya 7 lembar bahkan 9 lembar apalagi setelah diajari dan ikut seminar orang yang konon katanya pakar kartu kredit tentang jurus memutar uang "gali lubang tutup lubang" akhirnya menuju "gali lubang tutup lubang akhirnya menjadi kolam renang dan ikut tenggelam dan terbenam".
Sebenarnya yang dibidik pihak perbankan bukan seberapa banyak jumlah kartu kredit yang beredar. Bankir tahu bahwa seseorang mungkin saja memiliki 3 lembar kartu kredit bahkan lebih karena dampak persaingan industri kartu kredit itu sendiri. Yang lebih dikejar oleh perbankan adalah pasar potensial (potential market) itu sendiri. Pasar potensial ini terus membesar seiring kebijakan pemerintah di era demokrasi, reformasi dan otonomi daerah. Sejak era otonomi daerah digulirkan pemerintah pusat, daerah-daerah kabupaten saat ini mulai muncul orang-orang kaya baru (OKB) atau pengusaha-pengusaha setempat. Apalagi birokrasi daerah banyak didominasi politik dinasti oleh kelompok-kelompok marga tertentu atau keluarga-keluarga tertentu semacam raja-raja kecil. Otomatis mereka-mereka inilah yang menjadi pasar potensial buat bisnis kartu kredit. Bankir sudah lama memprediksi dan mengetahui ekses-ekses dari otonomi daerah seperti ini karena mereka memiliki akses jalur informasi ke pemerintah pusat. Mereka bisa membaca arah kebijakan pemerintah. Jalur bankir juga bekerja sama bahkan sering duduk makan malam bersama di satu meja entah dengan pejabat di lembaga atau institusi seperti: BI, menko ekuin, menperindag, HIPMI, KADIN, UMKM, dsb.
Hitung-Hitungan Kasar Keuntungan Bank
Kita anggap saja pasar potensial kartu kredit adalah 10% - 25% dari total penduduk Indonesia di zaman otonomi daerah seperti saat ini. Jadi minimal ada 25 juta nasabah kartu kredit yang dimungkinkan. Lalu apa dampak implikasinya? Begini:
Katakanlah dari total transaksi yang disebutkan di atas yakni Rp 163,2 triliun (2010), pihak bank memanen keuntungan 1% saja dari penyediaan mesin gesek (EDC), berapa keuntungan bank itu sendiri? Kurang lebih ada sekitar Rp 1,6 triliun yang masuk ke kantong bankir setiap tahun. Makin meningkat volume transaksinya maka semakin besar keuntungannya. Sampai di sini mungkin ada yang masih bingung mengapa bank bisa untung 1% atau dari mana hitungan keuntungan tersebut? Jelas karena setiap kali bank menyediakan mesin gesek (EDC) di setiap toko, bank akan memungut sejumlah fee. Inilah sumber utama bank di bisnis kartu kredit.
Berarti pemilik toko dirugikan dong atau keuntungannya menyusut dengan adanya biaya seperti ini? Secara kasat mata kelihatan seperti itu tetapi sebenarnya tidak! Sebab biaya ini setimpal dengan manfaat dari kehadiran mesin EDC di toko tersebut. Untuk lebih jelasnya coba dipelajari di topik manfaat kartu kredit buat pemilik toko. Namun demikian, bank tidak pernah memaksa sebuah toko apakah harus menggunakan mesin gesek EDC atau tidak. Bank juga tidak selalu meloloskan permintaan pemilik toko untuk mendapatkan fasilitas mesin EDC untuk penerimaan pembayaran kartu kredit. Sebab sekarang bank tahu banyak orang bisnis gestun (gesek tunai).
Besarnya fee 3% yang sering kita temui setiap kali bertransaksi gesek tunai kartu kredit, sebagian itu dimakan oleh merchant atau toko gesek tunai itu sendiri. Dari bank tidak setinggi itu dan biasanya berkisar antara 0,5% - 2%. Kita ambil rata-ratanya saja yakni 1%. Apakah penghasilan bersih Rp 1,6 triliun per tahun itu sangatlah kecil? Sangatlah besar dan spektakuler. Sekarang kita mengerti mengapa banyak orang ingin kawin dengan anak cucu bankir atau banyak pejabat berlomba-lomba mengincar kursi direksi bank BUMN. Ujung-ujungnya ya kembali soal fulus dan kenikmatan hidup duniawi.
Keuntungan Iuran tahunan
Berarti pemilik toko dirugikan dong atau keuntungannya menyusut dengan adanya biaya seperti ini? Secara kasat mata kelihatan seperti itu tetapi sebenarnya tidak! Sebab biaya ini setimpal dengan manfaat dari kehadiran mesin EDC di toko tersebut. Untuk lebih jelasnya coba dipelajari di topik manfaat kartu kredit buat pemilik toko. Namun demikian, bank tidak pernah memaksa sebuah toko apakah harus menggunakan mesin gesek EDC atau tidak. Bank juga tidak selalu meloloskan permintaan pemilik toko untuk mendapatkan fasilitas mesin EDC untuk penerimaan pembayaran kartu kredit. Sebab sekarang bank tahu banyak orang bisnis gestun (gesek tunai).
Besarnya fee 3% yang sering kita temui setiap kali bertransaksi gesek tunai kartu kredit, sebagian itu dimakan oleh merchant atau toko gesek tunai itu sendiri. Dari bank tidak setinggi itu dan biasanya berkisar antara 0,5% - 2%. Kita ambil rata-ratanya saja yakni 1%. Apakah penghasilan bersih Rp 1,6 triliun per tahun itu sangatlah kecil? Sangatlah besar dan spektakuler. Sekarang kita mengerti mengapa banyak orang ingin kawin dengan anak cucu bankir atau banyak pejabat berlomba-lomba mengincar kursi direksi bank BUMN. Ujung-ujungnya ya kembali soal fulus dan kenikmatan hidup duniawi.
Keuntungan Iuran tahunan
Selain keuntungan utama dari fee penyediaan mesin gesek EDC, bank juga masih bisa meraih untung dari pengenaan iuran tahunan (annual fee) kepada setiap nasabah mereka. Kita andaikan saja setiap kartu kredit cukup dikenakan Rp 100.000 per tahun (kesampingan dulu jenis kartu silver, gold, platinum, dll.), kira-kira berapa keuntungan bank setiap tahunnya?
Jika bank bisa menguasai 10% pangsa pasar katakanlah 25 juta nasabah, ini berarti keuntungan rutin per tahun sebuah bank adalah Rp 2,5 triliun. Rutin setiap tahun sampai kiamat tiba! Itu cuma 10% dengan ilustrasi cukup Rp 100.000 per kartu. Padahal untuk kartu gold dan platinum lebih dari Rp 300.000 per kartu. Tinggal dikalikan saja! Sangat mengerikan meski sebenarnya di banyak negara iuran tahunan sudah ditiadakan.
Jika bank bisa menguasai 10% pangsa pasar katakanlah 25 juta nasabah, ini berarti keuntungan rutin per tahun sebuah bank adalah Rp 2,5 triliun. Rutin setiap tahun sampai kiamat tiba! Itu cuma 10% dengan ilustrasi cukup Rp 100.000 per kartu. Padahal untuk kartu gold dan platinum lebih dari Rp 300.000 per kartu. Tinggal dikalikan saja! Sangat mengerikan meski sebenarnya di banyak negara iuran tahunan sudah ditiadakan.
Jika dari total pendapatan iuran tahunan Rp 2,5 triliun tersebut kita bagi-bagikan ke tiap-tiap bank secara merata dan katakanlah ada 20 bank, maka setiap bank mendapatkan keuntungan kurang lebih Rp 124 miliar setiap tahun. Mantap sekali bukan? Ini di luar keuntungan dari fee mesin gesek tunai yang ada. Tinggal dibagikan dan ditambahkan saja. Mau bisnis dan kerja apalagi di zaman susah seperti saat ini? Bayar gaji karyawan bank yang konon beberapa puluh juta juga masih banyak sisanya. Makanya tak heran antar bank-bank penerbit kartu kredit itu sendiri saling berlomba untuk menguasai kue bisnis kartu kredit
.
.
Kalau jantung Anda masih cukup bagus tanpa flek akibat asap rokok, biar lebih sport jantung mari kita tambahkan saja semuanya itu dari awal secara komplit mulai dari dari fee 1% mesin EDC, iuran tahunan sesuai jenis kartu, biaya bunga, biaya keterlambatan pembayaran, biaya penarikan tunai, biaya pergantian kartu, biaya servis, biaya over limit, bunga, biaya ini dan itu, dst. Wow! Sekarang Anda mulai mengerti betapa nikmatnya bisnis perbankan dan betapa kayanya bankir atau pejabat yang anggota keluarganya pernah duduk di puncak kepemimpinan bank-bank yang ada terutama BI. Kalau Anda berpenampilan cukup menawan, saran kami cobalah menikah atau jadian dengan anak cucu bankir. Dijamin sampai republik ini hancur Anda tidak akan pernah mati kelaparan. Bisa shopping-shopping ala sosialita, bergosip ria omongin penampilan orang di forum-forum internet seolah-olah tidak perlu cari duit buat biaya keluarganya.
Dari penjelasan di atas, di masa yang akan datang persaingan bisnis industri kartu kredit di Indonesia akan memasuki babak baru yang super ketat. Apalagi ketika pemerintah di tahun 2011 ini sudah mengeluarkan aturan baru yakni peraturan tentang alat pembayaran menggunakan kartu (APMK) yang akan diberlakukan tahun 2013. Jor-joran pun tak terhindarkan yang memberikan kesempatan kepada orang-orang pintar dan hebat ikut bermain yang menamakan diri mereka sebagai mafia kartu kredit.
Sponsored links: