Kartu kredit ada biaya tambahan. |
Penolakan berikutnya terhadap produk kartu kredit adalah anggapan bahwa penggunaan kartu kredit dikenakan biaya tambahan. Misalnya beli ponsel atau barang elektronik secara kontan di Glodok atau Hartono cukup membayar Rp 3.000.000, sementara jika menggunakan kartu kredit dikenakan harga Rp 3.090.000. Ada biaya tambahan kurang lebih 3% dari nilai transaksi. Lebih mahal bukan? Sehingga banyak orang bilang pakai kartu kredit justru lebih mahal. Tapi benarkah lebih mahal? Biaya apakah yang Rp 90.000 tersebut? Semoga penjelasan di bawah ini bisa memberikan wawasan.
Biaya Tambahan Kartu Kredit
Biaya tambahan sebesar Rp 90.000 (3%) yang kita contohkan di atas biasanya dikenal dengan sebutan "reimbursement fee" atau "surcharge'. Biaya itu bukan dikenakan oleh bank sebagai penerbit kartu kredit melainkan oleh si pemilik toko. Jadi akal-akalan yang punya toko. Untuk mengetahui persis bagaimana biaya ini dikenakan dan tujuannya untuk apa, kita harus mengerti proses transaksi kartu kredit.
Bank mengincar keuntungan lewat penyediaan mesin gesek EDC. Sasarannya adalah pemilik toko atau merchant itu sendiri. Bank akan menarik fee sekian persen atas setiap transaksi lewat mesin gesek ini. Fee inilah yang menjadi sumber utama penghasilan bank untuk mencari untung atau menutup biaya operasional mereka. Hal ini sudah kita bahas cukup jelas di artikel kegunaan kartu kredit di zaman modern. Silakan Anda membacanya kembali.
Jika Budi datang ke sebuah toko di bilangan Glodok lalu menggesek kartu kreditnya senilai Rp 1.000.000 maka bank memungut biaya atas transaksi tersebut kepada si pemilik toko. Katakanlah misalnya 2% maka si pemilik toko akan membayar bank senilai Rp 20.000. Jadi toko cuma terima bersih Rp 980.000. Sampai di sini kami anggap cukup jelas. Pemilik toko wajib membayar biaya ini sebab mereka sudah diuntungkan dengan sejumlah fasilitas yang pernah kita jelaskan terutama untuk pemilik bisnis. Tidak bisa mau enak sendiri pakai fasilitas dan teknologi perbankan tetapi tidak mau membayar biaya-biaya yang ada.
Sekarang yang menjadi masalahnya adalah seringkali produk-produk elektronik tertentu memiliki margin keuntungan yang sangat minim. Salah satu contohnya adalah ponsel. Jika sebuah ponsel baru margin keuntungannya hanya Rp 50.000 - Rp 100.000, pembayaran menggunakan kartu kredit bisa membuat pemilik toko bangkrut sebab masih harus setor ke bank 2%. Kalau harga ponsel Rp 4 juta maka harus setor Rp 80.000. Cuma untung Rp 20.000 atau malah tekor Rp 30.000. Semua pemilik toko akan menolaknya termasuk kita jika mempunyai toko. Masa yang untung cuma bank dan pengguna kartu kredit? Maka itu pemilik toko mengenakan kepada kita yang membayar dengan kartu kredit biaya surcharge 3% atau 3,5% tersebut. Kurang lebih seperti ini. Jadi yang licik di sini sebenarnya adalah pemilik toko karena produk yang dijual memang margin keuntungannya kecil.
Biaya Tambahan Kartu Kredit
Biaya tambahan sebesar Rp 90.000 (3%) yang kita contohkan di atas biasanya dikenal dengan sebutan "reimbursement fee" atau "surcharge'. Biaya itu bukan dikenakan oleh bank sebagai penerbit kartu kredit melainkan oleh si pemilik toko. Jadi akal-akalan yang punya toko. Untuk mengetahui persis bagaimana biaya ini dikenakan dan tujuannya untuk apa, kita harus mengerti proses transaksi kartu kredit.
Bank mengincar keuntungan lewat penyediaan mesin gesek EDC. Sasarannya adalah pemilik toko atau merchant itu sendiri. Bank akan menarik fee sekian persen atas setiap transaksi lewat mesin gesek ini. Fee inilah yang menjadi sumber utama penghasilan bank untuk mencari untung atau menutup biaya operasional mereka. Hal ini sudah kita bahas cukup jelas di artikel kegunaan kartu kredit di zaman modern. Silakan Anda membacanya kembali.
Jika Budi datang ke sebuah toko di bilangan Glodok lalu menggesek kartu kreditnya senilai Rp 1.000.000 maka bank memungut biaya atas transaksi tersebut kepada si pemilik toko. Katakanlah misalnya 2% maka si pemilik toko akan membayar bank senilai Rp 20.000. Jadi toko cuma terima bersih Rp 980.000. Sampai di sini kami anggap cukup jelas. Pemilik toko wajib membayar biaya ini sebab mereka sudah diuntungkan dengan sejumlah fasilitas yang pernah kita jelaskan terutama untuk pemilik bisnis. Tidak bisa mau enak sendiri pakai fasilitas dan teknologi perbankan tetapi tidak mau membayar biaya-biaya yang ada.
Sekarang yang menjadi masalahnya adalah seringkali produk-produk elektronik tertentu memiliki margin keuntungan yang sangat minim. Salah satu contohnya adalah ponsel. Jika sebuah ponsel baru margin keuntungannya hanya Rp 50.000 - Rp 100.000, pembayaran menggunakan kartu kredit bisa membuat pemilik toko bangkrut sebab masih harus setor ke bank 2%. Kalau harga ponsel Rp 4 juta maka harus setor Rp 80.000. Cuma untung Rp 20.000 atau malah tekor Rp 30.000. Semua pemilik toko akan menolaknya termasuk kita jika mempunyai toko. Masa yang untung cuma bank dan pengguna kartu kredit? Maka itu pemilik toko mengenakan kepada kita yang membayar dengan kartu kredit biaya surcharge 3% atau 3,5% tersebut. Kurang lebih seperti ini. Jadi yang licik di sini sebenarnya adalah pemilik toko karena produk yang dijual memang margin keuntungannya kecil.
Dari penjelasan di atas, bisa kita tarik kesimpulan bahwa yang menjadi problem bukan produk kartu kredit atau sistem transaksi kartu kredit melainkan mentalitas si pedagang (pemilik toko). Pedagang sudah menggunakan fasilitas bank tetapi tidak ingin membayar ke bank melainkan dibebankan kepada pembeli (pengguna kartu kredit). Mungkin mereka beranggapan bahwa konsumen juga menggunakan fasilitas bank bahkan bisa menyicil lalu mengapa pedagang yang harus menanggung biaya-biaya seperti ini? Mereka tidak sadar jika konsumen menyicil maka bank pun akan mengenakan bunga. Padahal jelas dengan menerima pembayaran kartu kredit, si pemilik toko sudah sangat diuntungkan.
Dilema Perbankan yang Cukup Unik
Dilema Perbankan yang Cukup Unik
Yang perlu kita ketahui atau berjaga-jaga dari praktek manipulasi seperti ini adalah pada saat kita berbelanja dengan kartu kredit, kita harus memastikan bahwa harga yang kita bayar adalah harga sebenarnya. Jangan sampai harga yang kita bayar sudah dinaikkan biaya surcharge 3% ini secara terselubung. Kadang ada toko yang bilang tidak dikenakan biaya surcharge tetapi sudah dinaikkan harga jualnya. Sama saja! Lalu bagaimana jika pemilik toko berkata bahwa penggunaan kartu kredit akan dikenakan biaya tambahan 3%? Kembali kepada diri kita masing-masing. Apakah mau berbelanja dengan biaya tambahan tersebut atau tidak. Kalau Anda setuju maka berarti tidak masalah sebab sudah mendapatkan persetujuan dari Anda. Kita juga tidak boleh protes sebab memang margin keuntungan barang tersebut terlalu kecil.
Jika merasa keberatan maka saran kami adalah membeli secara tunai atau menggunakan kartu debit. Jika tetap ingin menggunakan kartu kredit, saran kami pindah ke toko lainnya yang tidak mengenakan biaya seperti ini. Dicari saja sepertinya pasti ada karena kadang bank melakukan promosi tertentu yang sering disebut program market talk. Coba hubungi bank penerbit kartu untuk bertanya di toko-toko mana yang tidak mengenakan biaya surcharge untuk produk ini dan itu. Jika tidak ada informasinya maka boleh dibilang bank penerbit kartu kredit tersebut kurang bonafid dan kurang kreatif. Ganti saja ke kartu kredit bank lainnya. Seandainya semua bank penerbit tidak memiliki program seperti ini dan produk tersebut memang kita butuhkan, mau tidak mau ya harus tetap dibeli entah itu kontan, debit atau kartu kredit dengan charge 3% ini.
Pemilik Toko vs Bank
Pada awalnya memang kartu kredit diciptakan untuk keperluan traveling, menginap di hotel, membayar tagihan makanan minuman di restoran. Bukan untuk keperluan berbelanja apalagi menarik uang tunai lewat mesin ATM. Namun seiring waktu kartu kredit dipergunakan semakin luas dengan berbagai kompleksitasnya seperti gesek tunai, memutar uang, dsb. Untuk urusan berbelanja itu sendiri rupanya ada beberapa produk yang memiliki margin keuntungan yang sedemikian kecil sehingga membayar dengan kartu kredit akan membuat pemilik toko rugi. Salah satu contohnya adalah misalnya telepon seluler atau mungkin emas perhiasan. Jadi mulailah muncul praktek surcharge 3% ini.
Tetapi alasan margin kecil tidak bisa dibenarkan. Sebab di luar negeri pengenaan biaya 3% ini dianggap praktek bisnis yang culas. Di negara-negara maju seperti Eropa dan Amerika hampir tidak ada biaya seperti ini entah itu mau berbelanja perhiasan atau telepon seluler. Malah si pemilik toko bisa dilaporkan dan dikategorikan penipuan konsumen. Mungkin karena memang penggunaan kartu kredit di negara maju sudah sangatlah jamak sehingga membayar tunai semakin sedikit. Toko yang hanya mengharapkan pembayaran tunai sudah pasti akan kehilangan peluang dan akhirnya sepi pelanggan dan tutup sendiri.
Lain kasusnya di Indonesia. Banyak toko masih bisa hidup dan semakin maju hanya mengandalkan pembayaran tunai. Sebab tidak semua orang punya kartu kredit. Toko bisa tetap eksis tanpa peran bank, sebaliknya bank tidak akan berkembang produk kartu kreditnya tanpa menjalin kerjasama dengan toko. Karena itu kadang bank menutup mata atas praktek-praktek 3% ini hanya karena posisi mereka yang lemah. Bank lebih mengincar perkembangan produk kartu kredit terlebih dulu. Jika sudah cukup bagus penetrasi pasarnya maka toko-toko yang mengenakan biaya 3% ini bisa kena sanksi dicabut mesin EDC mereka. Akhirnya peluang pasar pun semakin mengecil dan ujung-ujungnya dagangan sepi dan bangkrut toko tersebut. Sebab semua orang sudah punya kartu kredit. Sepertinya untuk mencapai kondisi seperti ini masih panjang prosesnya dan masih lama.
Kesimpulannya: biaya surcharge bukan dari bank tetapi dari pemilik toko. Di negara-negara maju tidak ada biaya-biaya seperti ini dan tidak semua produk dikenakan biaya ini. Biasanya hanyalah produk-produk elekronik tertentu yang margin untungnya kecil. Apakah setiap hari kita berbelanja elektronik? Masih ada banyak produk (barang jasa) yang bisa kita bayar dengan kartu kredit tanpa dikenakan biaya. Jadi penolakan kartu kredit karena merasa bakalan lebih mahal kurang tepat. Bagaimana menurut Anda?
Sponsored links: